Sejalan dengan Kepentingan Kolonial


Identitas penulis Serat Darmagandul tidak jelas, ceritanya bersumber dari orang yang kesurupan. Lantas, di mana kesesuaiannya dengan kepentingan penjajah?

Identitas pengarang Serat Darmagandul hingga kini belum dapat dipastikan. Sejumlah teori telah dirumuskan untuk mengungkapkan masa jati dirinya. Muh Hari Soewarno, seorang pengamat kebudayaan Jawa menduga bahwa pengarang Darmagandul adalah Ranggawarsita, pujangga Keraton Surakarta. Teori ini mudah terbantah, sebab Ranggawarsita telah wafat pada 24 Desember 1873.

Philip Van Akkeren, akademisi Belanda, memiliki pendapat lain. Ia menyatakan bahwa pengarangnya seorang Kristen bernama Ngabdullah Tunggul Wulung atau dikenal dengan nama baptis Ibrahim Tunggul Wulung. Teori ini memang mampu menjelaskan adanya pengaruh sejumlah doktrin Kristen dalam Darmagandul. Namun belum sepenuhnya bisa dianggap akurat. Dalam kesehariannya, Tunggul Wulung dikenal cukup menghormati Islam. Meskipun telah beralih menjadi Kristiani, namun ia memegang teguh keyakinan bahwa “Muhammad adalah seorang yang juga dihormati dalam Injil.” Sedangkan Darmagandul justru menampilkan kesan melecehkan Islam, termasuk Nabi Muhammad.

Problem identitas di atas sudah tentu akan berimplikasi pada otoritas dan tanggung jawab sang pengarang terhadap substansi “kebenaran” yang dibeberkannya. Pada giliran selanjutnya juga merambah pada wilayah kesahihan informasi.

Selain problem identitas penulisnya, ada yang perlu juga diperhatikan menyangkut isinya. Hampir seluruh isi Darmagandul merupakan bentuk turunan dari Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada 1832 M oleh Mas Ngabehi Poerbawidjaja dan Mas Ngabehi Mangoenwidjaja. Babad Kadhiri ini dibuat atas perintah seorang pejabat Belanda.

GWJ Drewes, seorang orientalis Belanda, mengungkapkan bahwa Babad Kadhiri menyediakan tema utama dan ide bagi penulisan Darmagandul. Drewes juga membantah pendapat Philip van Akkeren yang beranggapan bahwa Serat Babad Kadhiri mengambil sumber cerita dari Darmagandul. Dilihat dari masa penulisan masing-masing, dapat diketahui bahwa Darmagandul adalah karya yang hadir lebih belakangan.

Hampir seluruh cerita yang ada dalam Babad Kadhiri dapat dijumpai dalam Serat Darmagandul. Termasuk di dalamnya tokoh cerita seperti Buto Locaya, Kyai Combre, Sabdo Palon, Raden Patah, Sunan Benang, dan lain sebagainya. Tokoh Ki Darmagandul dalam Serat Darmagandul kuat dugaan diinspirasi oleh tokoh Ki Darmakanda dari Babad Kadhiri.

Namun, secara mandiri pengarang Darmagandul juga menyisipkan sejumlah cerita agar alurnya dapat sesuai dengan missi pribadinya. Cerita-cerita Kristen yang terdapat dalam Darmagandul, merupakan hasil inisiatif pribadinya yang tidak bersumber dari Serat Babad Kadhiri

Dari kacamata metodologi penulisan, Darmagandul sebagai karya turunan dari Babad Kadhiri tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Penyebabnya, Babad Kadhiri bukan murni sebagai sumber tradisi yang didasarkan kepada tradisi lisan. Mangoenwidjaja, salah satu pengarang babad ini, mengakui bahwa karyanya merupakan cerita pedalangan yang bersifat fiktif belaka. Serat Babad Kadhiri ini, sebagaimana pengakuan kedua pengarang, dibuat berdasarkan perintah dari seorang pejabat Belanda di Kediri.

Ide penulisannya bersumber dari hasil ritual pemanggilan makhluk halus, bukan berdasarkan hasil kajian sejarah. Prosesinya diceritakan melalui sebuah ritual, maka jin bernama Kyai Buto Locaya dipanggil untuk masuk ke tubuh seorang medium. Medium yang mengalami “kerasukan” lantas di-”interview”, dan hasilnya kemudian dicatat dalam narasi yang kemudian dikenal sebagai “Serat Babad Kadhiri”.

Penulisan Serat Babad Kadhiri yang bersifat demikian dan juga produk turunannya berupa Serat Darmagandul, jelas sulit diterima sebagai bentuk referensi sejarah, sebab akurasi dan otoritas kebenarannya sulit diverifikasi.

Mencermati bahwa Babad Kadhiri merupakan produk dari proyek penjajah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa Darmagandul adalah kelanjutan langkah Belanda dalam menjinakkan perlawanan Islam. Pada sekitar 1900-an politik Belanda banyak diarahkan untuk mengantisipasi kekuatan Islam yang dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Kebijakannya dilakukan dengan kristenisasi dan pemunculan apa yang disebut sebagai “kaum adat”.

Kebijakan politik Belanda pasca 1850-an bukan sekedar bermotif ekonomi. Beberapa kasus menunjukkan, imperialisme Belanda adalah manifestasi idealisme yang bersifat politik dan agama. Dilihat dari segi mana pun, substansi Darmagandul sejalan dengan kepentingan kolonialis. SUARA HIDAYATULLAH, DESEMBER 2010 *Susiyanto

by:majalah.hidayatullah.com

0 Response to "Sejalan dengan Kepentingan Kolonial"

Posting Komentar